BOGOR - Kader Partai Golkar semakin gelisah di sejumlah daerah. Hal tersebut lantaran elektabilitas Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, belum beranjak naik. Padahal, pada satu sisi Pemilu 2024 semakin dekat dan Golkar ingin mengusung kadernya sendiri sebagai Capres atau Cawapres.
Hal tersebut disampaikan kader muda Golkar, Dian Assafri Nasa'i kepada wartawan, Kamis (13/1/2022).
Menurutnya, Jika elektabilitas Airlangga tidak mengalami kenaikan, hal tersebut juga akan berimbas pada perolehan suara nasional Golkar.
“Ini yang kami khawatirkan. Kami ingin Golkar mengusung kadernya sendiri sebagai Capres. Tapi, apa boleh buat kalau elektabitas Airlangga dikalahkan tokoh-tokoh nasional lainnya, ” katanya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Rendahnya elektabilitas Airlangga dari sejumlah lembaga survei akhir-akhir ini, kata Dian, menunjukkan bahwa Airlangga tidak mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
“Padahal, beliau ini memiliki modal kapital, sosial dan jabatan mentereng. Beliau itu kan Menko Perekonomian dan Ketum Golkar. Tapi, kenapa elektabitasnya jeblok begitu, ” tandasnya.
Dian mengaku khawatir kader partai berlambang pohon beringin bergejolak karena jebloknya elektabilitas Airlangga akan berdampak pada Golkar.
“Bila elektabilitas ketum Airlangga gak juga bisa naik, apa yang di khawatirkan sejumlah kader di daerah bisa kemungkinan terjadi, ” papar Dian.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Dian kemudian membandingkan elektabilitas Airlangga dengan kader Golkar Dedi Mulyadi. Dedi sendiri diketahui merupakan mantan Bupati Purwakarta dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Golkar.
“Hasil survei Indikator Politik Indonesia baru-baru ini mempublikasikan elektabilitas Airlangga hanya 0, 1 persen. Sementara pak Dedi Mulyadi 1 persen, ” katanya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Disebutkan Dian, rendahnya elektabilitas Airlangga tersebut mengkonfirmasi bahwa dia memang tidak layak jual. Pada satu sisi, elit Golkar, menurut Dian, terlalu memaksakan ingin mengusung Airlangga sebagai Capres.
“Itu kan tidak mungkin menjadi capres kalau elektabilitasnya saja hancur. Masa mau dipaksakan, yang rugi kan Golkar sendiri nanti, ” tegas Dian.
Lebih lanjut, Dian menerangkan, Airlangga tidak mampu melakukan pelembagaan di Partai Golkar secara kuat. Padahal, jika dilihat dari usia, Partai Golkar relatif cukup tua dan kaya akan pengalaman karena pernah berkuasa selama 32 tahun di era Orde Baru. Setelah Reformasi ini, Golkar termasuk partai papan atas lantaran selalu bertengger di tiga besar.
Namun, Dian menjelaskan, Airlangga tidak mampu melakukan pelembagaan partai secara kuat. Padahal, keberhasilan konsolidasi dan pelembagaan partai sangat di tentukan oleh pemimpinnya.
“Oleh karena itu partai berkewajiban memunculkan kader-kader yang memiliki integritas, kredibilitas, kompetensi dan kapasitas untuk membenahi sistem regenerasi, penting bagi partai politik, ” katanya.
“Sapa yang enggak kenal Partai Golkar? partai besar yang mendominasi politik Indonesia selama 32 tahun di era orde baru, tak tertandingi dan kadernya solid. Tetapi di era reformasi keperkasaannya memudar, ” jelas Dian.
Dian kemudian meminta Airlangga dan elit Golkar melakukan pembenahan internal. Sebab, katanya, tantangan Golkar tidak hanya di internal tapi juga datang dari eksternal.
“Dan apabila Golkar tidak cepat mereposisi dalam situasi ini tidak menutup kemungkinan perolehan kursi Golkar di pemilu legislatif 2024 yang akan datang perolehan suara partai ini akan merosot signifikan dan yang terparah partai ini menjelma menjadi partai gurem, ” tutup Dian. (HR/FRI)